Pengantar:
Masih sering kita dengar ungkapan orangtua dan guru tentang anak-anak
dan anak didik mereka yang memperoleh prestasi sekolah tidak sebagaimana yang
diinginkan. Mereka mengeluh mengapa anaknya bodoh sekali. Di lain kesempatan,
orangtua juga mengeluhkan ketika anak-anak atau anak didik mereka melakukan
sesuatu yang tidak biasa. Mereka mengeluh mengapa anak atau anak didiknya suka
berperilaku yang aneh-aneh. Dalam kesempatan ini, akan dibicarakan tentang
kecerdasan ganda anak-anak dan respon yang semestinya dilakukan guru dan
*Orang Tua*
*Orang Tua*
Setiap Anak Cerdas!
Satu keyakinan penting yang perlu dimiliki oleh para guru dan orangtua
tentang anak-anak mereka adalah bahwa setiap anak lahir dengan membawa
potensi. Dengan keyakinan demikian, harapannya akan muncul kesungguhan untuk
lebih peka dan cermat dalam berusaha menemukan serta mengembangkan potensi
yang dimiliki anak-anak.
Sebuah kepastian, bahwa Allah SWT tidaklah menciptakan segala sesuatu
dengan sia-sia. Apalagi dalam penciptaan makhluk bernama manusia. Kita,
orangtua dan guru, ibarat para pembuat keramik. Dan anak-anak adalah tanah
liatnya. Dia memberi amanah berupa anak-anak pada kita untuk diasuh, dibimbing
dan diarahkan hingga menjadi generasi yang terbaik, sebagai rahmahtan lil alamin.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menemukan potensi yang dimiliki
anak dan apa yang harus dilakukan para orangtua untuk mengoptimalkan karunia
potensi tersebut?
Sebagian orangtua sering mengeluhkan dan merasa bahwa anak mereka
kurang cerdas bahkan termasuk lambat belajar. Standar atau patokan yang
digunakan biasanya berdasarkan prestasi belajar yang didapat di bangku sekolah.
Namun demikian, para orangtua lupa bahwa hampir seluruh aspek yang dinilai
dalam dunia pendidikan kita masih berpusat pada kemampuan kognitif atau
intelektual semata.
Sementara itu, sekitar tahun 1995-an, Daniel Goleman telah mempopulerkan
konsep Emotional Intelligence yang meyakini bahwa kecerdasan emosi (Emotional
Quotient) jauh lebih penting dan terbukti memberi sumbangan yang lebih besar
dalam keberhasilan hidup seseorang dibandingkan kecerdasan intelektual-nya.
Lebih komprehensif, seorang Psikolog dari Harvard University, Howard
Gardner mengungkapkan teorinya tentang multiple intelligence (kecerdasan ganda)
yang dimiliki oleh setiap anak. Menurut Gardner, setiap anak memiliki delapan
jenis kecerdasan yang tersusun menjadi satu dengan cara yang unik dan kombinasi
yang berlainan. Teori Gardner ini menegaskan bahwa kecerdasan yang ada pada
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Kecerdasan Anak*
*Kecerdasan Anak*
Anak bukan hanya berkaitan dengan berpikir (kecerdasan logis dan mate-matis), tapi
ada berbagai kecerdasan lain. Sebagai contoh, bisa jadi anak memiliki kecerdasan
berpikir yang biasa saja, namun ia memiliki kelebihan dalam hal kecerdasan
musikal. Anak yang lain mungkin memiliki kecerdasan berpikir biasa saja, namun
ia memiliki kecerdasan kinestetik yang menjadikannya memiliki skill olahrga yang
jauh di atas rata-rata anak yang lain.
Melalui pengetahuan tentang delapan jenis kecerdasan inilah para orangtua
dapat lebih optimis dan bersungguh-sungguh dalam mengenali dan mengoptimalkan
potensi anak-anak mereka.
Berdasarkan teori Gardner, delapan jenis kecerdasan yang ada pada setiap
anak yaitu sebagai berikut :
Pertama: Kecerdasan Linguistik. Adalah kemampuan menggunakan katakata
secara efektif, umumnya berkaitan dengan kemampuan bicara. Pada anak-anak
tampak pada kemampuan baca tulis, bercerita, mengeja kata-kata dengan tepat,
memiliki lebih banyak kosakata untuk anak seusianya, dll.
Cara belajar terbaik untuk anak-anak dengan kecerdasan ini adalah dengan
mengucapkan, mendengar dan melihat kata-kata. Orangtua dapat memotivasinya
dengan menyediakan banyak buku, sering mengajak mereka berbicara, main tebak
kata, bercerita sampai menuangkan ide-ide atau perasaan mereka dalam sebuah
tulisan.
Kedua: Kecerdasan logis matematis. Adalah ketrampilan mengolah angka
dan/atau kemahiran menggunakan logika/akal sehat. Anak-anak dengan kecerdasan
ini mempunyai kemampuan berhitung/aritmatik yang baik (di luar kepala), suka
bertanya dan memahami sebab-akibat, suka permainan strategi (misalnya catur),
senang bereksperimen, dll.
Orangtua sebaiknya lebih sabar dalam ’melayani’ berbagai pertanyaan mereka
dan menyiapkan jawaban yang logis, mengadakan banyak buku tentang
pengetahuan , ensiklopedi, menyediakan alat bermain strategi, mengajarkan metode
sempoa aritmatik,dll.
Ketiga: kecerdasan spasial. Adalah kemampuan memvisualisasikan gambar
yang ada di dalam kepala. Anak-anak dengan kecerdasan ini biasanya suka
menggambar/mencorat-coret, senang bermain puzzle, lego atau permainan rancangbangun,
suka melamun/berhayal sesuatu, dan lain-lain.
Orangtua perlu memberi kesempatan yang luas pada anak untuk mengasah
kemampuan gambar/lukis, alat permainan yang sesuai, dan menggunakan media
seperti film, CD, peta, dsj sebagai sarana belajar.
Keempat: kecerdasan kinestetik-jasmani. Adalah kecerdasan yang melibatkan
fisik/tubuh anak, baik motorik halus maupun motorik kasar. Mereka menyukai
aktivitas yang bergerak (berlari, melompat, dll), suka olahraga, bongkar pasang,
ketrampilan dan kerajinan tangan, pandai menirukan gerakan, atau perilaku
oranglain, dll.
Orangtua perlu mendorong/memfasilitasi anak-anak dengan kecerdasan ini
melalui kegiatan yang banyak melibatkan kemampuan fisik/gerak seperti bermain
bola, berenang, bela diri, dst.
Kelima: kecerdasan musikal. Adalah kecerdasan yang melibatkan kepekaan
terhadap irama atau melodi musik, menyanyikan sebuah lagu, memainkan alat
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Musik*
Musik atau sekedar menikmati musik. Dapat dijumpai pada anak yang senang
belajar dengan iringan musik, suara yang bagus, cepat menirukan nada/nyayian, dll.
Orangtua hendaknya cukup memberi kesempatan pada anak untuk bernyanyi
bersama, belajar dengan ketukan/irama, dll.
Keenam: kecerdasan naturalis. Adalah kecerdasan yang melibatkan
kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam di sekitar kita, seperti burung, bunga,
pohon, dan flora fauna yang lain. Anak-anak dengan kecerdasan ini termasuk
pencinta alam, suka mengumpulkan bebatuan, akrab dengan hewan peliharaan, suka
berkebun, membawa pulang serangga, dll.
Cara mengajar mereka adalah dengan membawanya ke alam terbuka,
berpetualang, melakukan penelitian, mengamati makhluk hidup, mengunjungi
kebun binatang, dll.
Ketujuh: kecerdasan antarpribadi. Adalah kecerdasan dalam hal memahami
dan berempati serta bekerjasama dengan orang lain. Sering pula disebut kecerdasan
interpersonal. Anak-anak dengan kecerdasan ini biasanya mudah bergaul/cepat
beradaptasi, punya banyak teman, suka permainan kelompok, punya bakat
kepemimpinan, dll.
Cara belajar yang tepat bagi mereka memang dengan berkelompok, mengajari
teman-temannya, mengunjungi/bersilaturahmi, dll.
Kedelapan: kecerdasan intra pribadi. Adalah kecerdasan memahami diri
sendiri, mampu menempatkan diri, mengetahui kelemahan dan kekuatan diri dan
pandai mengelola emosi/perasaan. Pada anak-anak, mereka tampak lebih percaya
diri, mampu belajar dari kesalahan, serta tepat dalam mengekspresikan emosinya.
Mereka dapat diberi kepercayaan untuk menetapkan target, memilih kegiatan dan
memotivasi diri sendiri.
Orangtua perlu memberi kepercayaan kepada anak dengan mendukung
kemandirian mereka dalam berpikir dan merencanakan, termasuk menghargai
privasi mereka. Sebagai catatan, istilah kecerdasan intrapribadi dan kecerdasan
Selain delapan kecerdasan di atas, ada satu jenis kecerdasan yang belum
diungkap oleh Gardner, namun dapat dijumpai pada anak-anak kita yaitu
kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual, menurut Danah Zohar dan Ian Marshall
(2000) adalah kecerdasan untuk memahami kebermaknaan hidup. Dalam pengertian
yang lebih spesifik, TotoTasmara (2001) memperkenalkan istilah kecerdasan
ruhaniah, yaitu kepekaan seseorang untuk memahami dan meyakini keberadaan
Tuhan serta terlibat dalam aktivitas keruhanian.
Pada anak-anak, potensi kecerdasan spiritual sesungguhnya sangat mudah
untuk diarahkan sejak dini. Sesuai dengan fitrah mereka yang suci, anak-anak
dengan kecerdasan ini lebih mudah untuk menerima konsep-konsep tentang Tuhan
(Allah SWT), pahala, tertarik dengan ilmu agama, suka dengan kegiatan
keagamaan, mampu mengambil pelajaran dari pengalaman, peka terhadap
kesalahan, dan tampak lebih religius untuk anak seusianya.
Hal-hal yang sepatutnya dilakukan orangtua adalah memberi kesempatan,
dukungan dan apresiasi pada anak-anak yang sesuai dengan kemampuan dan
kemauannya (tanpa paksaan dan tekanan). Seperti, mengajak sholat di Masjid,
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Berdoa*
Berdoa bersama untuk memohon sesuatu pada Allah SWT, mengikutkan di TPA,
melatih berpuasa di bulan ramadhan, dll.
Peran Orangtua/lingkungan dalam membentuk kecerdasan ini sangatlah besar.
Karenanya kita patut bersyukur jika memiliki anak dengan kecerdasan spiritual ini.
Mereka sangat berpotensi menjadi anak yang sholih/sholihah, menyukai
kebaikan/kebenaran dan mampu menjadi contoh bagi teman/teman atau
lingkungannya.
*Setiap Anak Kreatif!*
Ada ungkapan yang sangat terkenal dari Ali bin Abi Thalib ra: ”Didiklah
anak-anakmu. Sesungguhnya mereka dilahirkan untuk hidup dalam suatu zaman
yang benar-benar berbeda dengan zamanmu.” Ungkapan tersebut mengisyaratkan
pentingnya orangtua dan guru untuk mendidik anak-anak dan anak didik menjadi
pribadi yang kreatif!
Tak dapat disangkal lagi, kreativitas memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia. Semakin kompleks dan peliknya problem kehidupan di dunia
ini menuntut kita untuk senantiasa mengoptimalkan berbagai potensi yang Allah
berikan. Di antaranya adalah potensi akal untuk dapat berfikir kreatif. Dengan
kreativitas, manusia diharapkan akan mampu memecahkan berbagai persoalan
hidup secara lebih efektif dan efisien.
Menjadi pribadi kreatif tidaklah didapat dengan tiba-tiba ketika seseorang
telah dewasa dan dihadapkan pada aneka permasalahan. Kreativitas memerlukan
proses. Ibarat tanaman, kreativitas pun perlu dipupuk, disiram dan dirawat agar bisa
tumbuh subur. Di sinilah peran para orangtua dan pendidik untuk membantu anakanak
mengoptimalkan potensi kreatif-nya sejak dini sebagai bekal bagi mereka
melalui suatu zaman yang berbeda dari saat sekarang.
Para ahli (Munandar, 1985; Nashori & Mucharam, 2002) mempercayai
bahwa setiap anak itu kreatif. Bila diberikan kepada anak setumpuk buku, maka ia
dapat menjadikannya sebagai gedung, sebagai mobil, sebagai meja, kursi, dan
sebagainya. Semua itu menunjukkan bahwa mereka mampu melihat sesuatu dengan
sudut pandang yang berbeda dengan umumnya orangtua.
Yang patut disayangkan adalah ketika anak-anak tumbuh, kreativitas
mereka itu perlahan menurun. Pendidikan yang menekankan ”hanya ada satu
jawaban yang benar” untuk suatu soal adalah salah satu sistem pendidikan yang
berperanan dalam memangkas atau mengikis potensi kreatif anak. Dalam
kenyataannya, problem kreativitas menjadi banyak. Berikut ini adalah beberapa di
antaranya.
Problem pertama: Penjajahan terselubung. Setiap orangtua pasti
mendambakan masa depan yang gemilang bagi anak-anaknya. Dalam usaha ini,
orangtua melakukan bimbingan, pengarahan dan pembinaan dengan berbagai cara.
Disadari atau tidak, di dalamnya tentu terdapat perintah, larangan bahkan paksaan.
Atas nama kebaikan untuk masa depan mereka, banyak anak di giring, didikte
bahkan disetir untuk mengikuti apa yang ’baik dan benar’ dalam pandangan
orangtua. Orangtua menjadi penguasa penuh yang tak tertandingi. Akhirnya anak
menjadi tertekan sehingga kehilangan kemerdekaan untuk menentukan
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Keinginnan Anak*
Keinginannya sendiri. Alih-alih mencetak generasi yang kreatif, justru inilah awal
petaka munculnya berbagai masalah psikologis pada anak.
Problem kedua: Pengaruh pola asuh. Sampai saat ini belum ada sekolah
khusus untuk menjadi orangtua. Padahal tugas mendidik generasi bukanlah hal yang
mudah.Pola asuh yang diterapkan para orangtua umumnya berasal dari pengalaman
yang dia terima saat menjadi anak-anak di masa lalu.Sementara telah berlalu
rentang yang panjang dan pergantian zaman dari dulu hingga sekarang. Jenis-jenis
pola asuh yang banyak dikenal diantaranya otoriter, protektif, permisif dan
demokratis. Masing-masing pola ini memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri.
Tidak bisa disimpulkan dengan mudah bahwa yang satu lebih baik dari yang lain.
Secara umum, yang perlu ditunjukkan orangtua adalah keluwesan dan ketauladanan
dalam mendampingi putra-putrinya. Perlu diingat bahwa anak-anak belajar lebih
banyak dari tindakan-tindakan kita daripada ucapan-ucapan kita.
Problem ketiga: Kekerasan pada Anak. Tragedi kekerasan pada anak
semakin mencuat pada saat sekarang ini. Berita-berita di media membuat para
orangtua terperangah setengah tidak percaya, bahwa ada orangtua lain yang tega
menganiaya anak kandungnya sendiri secara sadis. Padahal para ahli sudah
menyampaikan, demikian juga fakta menunjukkan bahwa penganiayaan anak (child
abuse) dan penelantaran anak (child neglect) akan sangat berpengaruh negatif
terhadap perkembangan anak di masa yang akan datang. Masa kecil yang tidak
bahagia bahkan penuh trauma akan berdampak sangat kompleks pada perilaku
mereka. Sudah barang tentu anak-anak itu akan kehilangan motivasi dan juga
kesempatan untuk dapat menjadi pribadi yang sehat dan kreatif.
Problem keempat: Sistem pendidikan yang belum kondusif. Menurut
praktisi pendidikan, Seto Mulyadi, anak-anak Indonesia mengalami proses
pemandegan kreativitas setelah mereka mulai mengikuti pendidikan di sekolah
dasar. Ketika berada di bangku sekolah seorang anak dilatih untuk memilih hanya
satu jawaban yang benar atas suatu persoalan. Hal ini menjadikan potensi berpikir
kreatif tidak berkembang optimal. Kondisi lain terkait dengan bobot pelajaran yang
ada di sekolah pada umumnya sangat menekankan pada berfungsinya otak kiri yang
bersifat akademis daripada otak kanan yang bersifat kreatif. Otomatis, anak-anak
tidak terlatih untuk mengaktifkan otak kanannya dalam memecahkan berbagai
persoalan terkait pelajaran di sekolah.
Dukungan dan Hambatan, Berawal dari Rumah
Menyadari urgensi dan manfaat kreativitas, tentu kita ingin agar anak-anak
kita tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang kreatif. Lantas apa yang
diperlukan untuk mencapai harapan tersebut?
Pertama: Memenuhi Kebutuhan Psikis yang utama bagi anak-anak. Setiap
manusia tentu memiliki beragam kebutuhan dalam hidupnya, tak terkecuali anakanak.
Dari sekian banyak kebutuhan yang ada, sekurang-kurangnya ada 3 hal yang
dianggap sebagai kebutuhan dasar bagi anak-anak dalam mendukung keberhasilan
tumbuh kembang mereka. Kebutuhan tersebut adalah: (1) cinta dan kasih sayang,
(2) perhatian dan (3) rasa aman. Telah banyak teori dan fakta di lapangan yang
membuktikan bahwa tidak terpenuhinya ketiga kebutuhan utama tersebut menjadi
sebab-sebab munculnya permasalahan pada anak-anak. Apabila anak telah
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Masalah*
*Masalah*
Bermasalah, jangankan berusaha mengembangkan kreativitas, tetapi energi orangtua
dan juga anak justru terkuras untuk menghadapi permasalahan yang ada.
Kedua: Menerima kekurangan Anak, Memotivasi Kelebihan mereka dan
Memperkaya stimulasi. Setiap anak terlahir tentu memiliki kelebihan dan
kekurangan, karena mereka bukanlah makhluk yang sempurna. Penerimaan orangorang
terdekat, terutama orangtua, sangat berpengaruh pada pembentukan konsep
dan kepercayaan diri anak. Anak-anak yang mempunyai kepercayaan diri yang baik
akan dapat mengembangkan potensi kreatif-nya tanpa dibayangi perasaan takut
dicela atau penolakan dari orang-orang disekitarnya. Sebaliknya, ketika orangtua
sudah berfikir/merasa bahwa anak mereka bodoh, nakal atau tidak berbakat, maka
pada saat itu pula anak akan tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri dan
pesimistis sehingga perlahan tapi pasti dapat mematikan potensi kreatif-nya.
Sebagian orangtua mungkin masih perlu waktu untuk dapat melihat potensi
dan kelebihan anak-anak mereka. Namun, percayakah anda bahwa sesungguhnya
setiap anak itu cerdas? Di balik kepala mungil anak-anak, terdapat benda ajaib yang
beratnya kurang dari 1,5 kg dan merupakan ’komputer’ terhebat di dunia. Itulah
otak, yang terdiri dari: (a) satu triliun sel otak, termasuk 100 miliar sel saraf aktif
atau neuron dan 900 miliar sel lain yang merekatkan, memelihara dan menyelebungi
sel-sel aktif. (b) Terdapat dua belahan otak yang bekerja secara harmonis yakni otak
kiri yang bersifat akademis dan otak kanan yang bersifat kreatif. (c) Memiliki
delapan pusat kecerdasan, (bahkan mungkin lebih dari itu) : verbal linguistik, logis
matematis, kinestetik, visual spasial, musikal, interpersonal, intrapersonal dan
natural.
Dengan potensi yang sedemikian dahsyat, setiap anak sebenarnya siap
menyerap setiap stimulus/rangsang yang kita berikan. Mereka adalah peniru ulung
dan ibarat kaset kosong yang memiliki memori sangat kuat. Mereka dipenuhi rasa
ingin tahu dan ingin mencoba segala sesuatu.
Sudahkah kita memperkaya stimulasi dan memberikan kesempatan yang
cukup bagi mereka untuk dapat berekspresi dan berkreasi ?
Ketiga: Membangun suasana yang menyenangkan melalui bermain. Fakta
mengagumkan tentang kerja otak manusia, bahwa di dalamnya terdapat sebuah
katup limbik dengan satu sistem kerja yang unik (lymbic system). Katup akan
terbuka dan menyerap informasi dengan mudah manakala kondisi emosi pemiliknya
dalam keadaan senang/bahagia. Dengan kata lain, jika orangtua selalu
mengusahakan suasana bahagia saat berinteraksi dengan anak-anak, maka akan
mudah bagi mereka untuk mengerahkan daya fikirnya hingga menghasilkan ide-ide
atau karya kreatif.
mudah bagi mereka untuk mengerahkan daya fikirnya hingga menghasilkan ide-ide
atau karya kreatif.
Salah satu aktivitas yang pasti menyenangkan bagi anak-anak adalah bermain
atau permainan.Dengan bermain anak mendapatkan pengalaman berhadapan dengan
’masalah-masalah’ dan menganggapnya sebagai tantangan yang menggairahkan.
Apa yang dipelajari seorang anak melalui kegiatan bermain sangat potensial dalam
mempengaruhi cara dia bertingkahlaku, termasuk memecahkan masalah di masa
dewasa kelak. Diharapkan ia akan tumbuh menjadi pribadi yang optimis dan kreatif
dalam menghadapi kendala kehidupan yang sesungguhnya.
Mengingat manfaat dan pentingnya kreativitas bagi kehidupan manusia ,
sudah selayaknya kita, para orangtua, membantu anak-anak agar tumbuh menjadi
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Generasi Kreatif Anak Indonesia*
Generasi kreatif yang memiliki kemampuan untuk mengambil peran dalam upaya
perbaikan umat di masa yang akan datang.
Prinsip dan Teknik Pengasuhan Anak
Satu hal penting yang perlu kita pahami adalah bahwa tidak ada orangtua
yang sempurna. Menjadi orangtua bukanlah sesuatu yang bersifat semua atau tidak
sama sekali.Kesuksesan-kesuksesan dan kesalahan-kesalahan yang terjadi
merupakan bagian dari proses/petualangan kita menjadi orangtua.
Sebuah pendekatan yang terpercaya dan teruji berdasarkan penelitian para
ahli, telah menghasilkan rumusan RPM3 sebagai sebuah pedoman bagi para
orangtua dalam memperkaya ilmu tentang pengasuhan anak (parenting). RPM3
terdiri dari:
Pertama: Responding (Menanggapi Anak secara Tepat). Dalam
memberikan respon pada anak orangtua memerlukan dua keyakinan: 1) kita harus
yakin bahwa kita sedang memberi respon terhadap anak-anak, bukan sedang
bereaksi, 2) kita harus yakin bahwa respon kita tepat. Perbedaan yang nyata antara
merespon dan bereaksi, bahwa dalam bereaksi kita mengungkapkan kata-kata,
perasaan atau tindakan yang pertama kali muncul dalam benak, cenderung tidak
memikirkan hasil apa yang kita kehendaki dari sebuah kejadian atau tindakan,
bahkan tidak memilih cara terbaik untuk mencapai hasil yang kita inginkan.
Sedangkan dalam merespon, kita berusaha mengambil waktu sejenak untuk
memikirkan apa yang sedang terjadi sebelum berbicara, berperasaan atau bertindak
sesuatu. Sebuah respon dianggap tepat jika sesuai dengan situasi yang terjadi
(terkait usia dan data/informasi yang tersedia). Ada beberapa pertanyaan mendasar
dalam merespon, di antaranya: Apakah ucapan kita sesuai dengan apa yang kita
pikirkan? Apakah tindakan kita sesuai dengan ucapan kita? Apakah emosi kita
terlibat dalam cara kita mengambil keputusan? Apakah kita tahu alasan-alasan yang
mendasari perilaku anak-anak kita?
Kedua: Preventing (Mencegah munculnya perilaku beresiko atau
bermasalah). Upaya melakukan pencegahan mencakup dua hal penting: (a)
Memetakan kemungkinan-kemungkinan permasalahan. Beberapa langkah yang bisa
ditempuh agar dapat memetakan masalah adalah: (i) Melibatkan diri secara aktif
dalam kehidupan anak-anak, sehingga kita dapat mengetahui bagaimana biasanya
anak-anak kita berpikir, berperasaan dan bertindak. Kita akan menjadi lebih peka
mengenali setiap perubahan yang terjadi dalam diri anak. (ii) Menentukan batasanbatasan
yang realistis dan memperkuat batasan tersebut secara konsisten. Secara
selektif tentukan perilaku-perilaku yang paling penting atau yang kita harapkan dari
anak-anak. Pastikan bahwa kita dan anak-anak dapat ’melihat’ batasan tersebut
secara jelas. (iii) Mengajari anak-anak cara yang sehat dalam mengekspresikan
emosi. Tanyalah mereka apa yang mereka rasakan dan mengapa mereka merasa
demikian. Beri mereka contoh tentang cara-cara yang sehat dengan memperlihatkan
bagaimana kita sendiri mengekspresikan emosi ketika kita mengalami berbagai
macam emosi.
Selain memetakan kemungkinan, yang perlu dilakukan adalah (b) Mengetahui
bagaimana memecahkan permasalahan tersebut. Langkah agar dapat mengetahui
pemecahan masalah adalah sebagai berikut: (i) Ketahuilah bahwa anda tidak
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Mengakui Kesalahan*
Sendirian, (ii) Akui bahwa ada masalah-masalah tertentu yang tidak dapat kita
tangani sendiri, (iii) Carilah bantuan, jika dibutuhkan.
Ketiga: Monitoring (Mengawasi interaksi anak dengan lingkungan
sosialnya). Seorang pengawas yang baik harus dapat menggabungkan kemampuan
bertanya dan memberi perhatian, dengan membuat keputusan-keputusan,
menentukan batasan-batasan dan mendorong anak-anak mengambil pilihan yang
positif ketika kita tidak ada.
Cara-cara menjadi pengawas aktif: (i) Kembangkan komunikasi dua arah
dan terbuka sejak anak usia dini dan pelihara kejujuran dalam komunikasi tersebut,
(ii) Katakan pada anak-anak tentang pikiran-pikiran dan hal-hal yang kita anggap
berharga serta alasan kita menganggap demikian.(iii) Ketahuilah apa saja yang
sedang anak-anak kita saksikan, bacakan, mainkan atau dengarkan, (iv) Kenali
orang-orang atau teman-teman yang sering bersama dengan anak-anak kita, dan (v)
Memberi arahan tanpa harus menjadi kaku.
Keempat: Mentoring (Mendukung dan menumbuhkan perilaku-perilaku
yang dikehendaki). Keterbatasan dalam pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman
pada anak-anak menjadikan mereka sangat membutuhkan mentor dalam
kehidupannya. Dan orangtua adalah mentor terbaik bagi mereka. Menjadi seorang
mentor berarti memberikan dukungan, bimbingan, persahabatan dan penghargaan
terhadap anak-anaknya. Para mentor membantu anak-anak mencapai potensinya
secara penuh dengan cara: mengembangkan kelebihan-kelebihannya, membersamai
sesuatu yang menjadi minat mereka, mengemukakan nasehat dan dukungan,
memberikan pujian, mendengarkan, dan mampu menjadi teman bagi mereka. Modal
awal dan sederhana untuk menjadi mentor yang handal adalah menyediakan waktu
bersama anak-anak, dan melakukan komunikasi satu sama lain.
Beberapa langkah yang dapat ditempuh adalah: (i) Jujur dengan kekuatan dan
kelemahan yang kita miliki, (ii) Hargai pemikiran dan pendapat anak-anak tanpa
perlu menghakiminya, (iii) Dukung minat dan kelebihan anak-anak kita, tetapi
jangan memaksanya, (iv) kenalkan anak-anak pada sesuatu yang kita sangat suka
melakukannya.
Kelima: Modeling (Menjadikan diri kita sebagai contoh positif dan
konsisten). Mungkin M yang terakhir ini terasa sangat berat bagi kebanyakan
orangtua. Memberikan keteladanan membutuhkan keteguhan dan konsistensi dalam
setiap ucapan dan tindakan di hadapan anak-anak. Anak-anak belajar banyak,
bahkan lebih banyak, dari tindakan-tindakan kita daripada ucapan-ucapan kita.
(ingat bahwa anak-anak adalah peniru yang ulung). Menjadi seorang model
memang menuntut tanggungjawab yang besar.Mulailah dan tunjukkan bahwa kita
menjadi orang pertama yang memberi contoh tentang perilaku yang kita kehendaki
dari anak-anak kita.
atau permainan.Dengan bermain anak mendapatkan pengalaman berhadapan dengan
’masalah-masalah’ dan menganggapnya sebagai tantangan yang menggairahkan.
Apa yang dipelajari seorang anak melalui kegiatan bermain sangat potensial dalam
mempengaruhi cara dia bertingkahlaku, termasuk memecahkan masalah di masa
dewasa kelak. Diharapkan ia akan tumbuh menjadi pribadi yang optimis dan kreatif
dalam menghadapi kendala kehidupan yang sesungguhnya.
Mengingat manfaat dan pentingnya kreativitas bagi kehidupan manusia ,
sudah selayaknya kita, para orangtua, membantu anak-anak agar tumbuh menjadi
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Generasi Kreatif Anak Indonesia*
perbaikan umat di masa yang akan datang.
Prinsip dan Teknik Pengasuhan Anak
Satu hal penting yang perlu kita pahami adalah bahwa tidak ada orangtua
yang sempurna. Menjadi orangtua bukanlah sesuatu yang bersifat semua atau tidak
sama sekali.Kesuksesan-kesuksesan dan kesalahan-kesalahan yang terjadi
merupakan bagian dari proses/petualangan kita menjadi orangtua.
Sebuah pendekatan yang terpercaya dan teruji berdasarkan penelitian para
ahli, telah menghasilkan rumusan RPM3 sebagai sebuah pedoman bagi para
orangtua dalam memperkaya ilmu tentang pengasuhan anak (parenting). RPM3
terdiri dari:
Pertama: Responding (Menanggapi Anak secara Tepat). Dalam
memberikan respon pada anak orangtua memerlukan dua keyakinan: 1) kita harus
yakin bahwa kita sedang memberi respon terhadap anak-anak, bukan sedang
bereaksi, 2) kita harus yakin bahwa respon kita tepat. Perbedaan yang nyata antara
merespon dan bereaksi, bahwa dalam bereaksi kita mengungkapkan kata-kata,
perasaan atau tindakan yang pertama kali muncul dalam benak, cenderung tidak
memikirkan hasil apa yang kita kehendaki dari sebuah kejadian atau tindakan,
bahkan tidak memilih cara terbaik untuk mencapai hasil yang kita inginkan.
Sedangkan dalam merespon, kita berusaha mengambil waktu sejenak untuk
memikirkan apa yang sedang terjadi sebelum berbicara, berperasaan atau bertindak
sesuatu. Sebuah respon dianggap tepat jika sesuai dengan situasi yang terjadi
(terkait usia dan data/informasi yang tersedia). Ada beberapa pertanyaan mendasar
dalam merespon, di antaranya: Apakah ucapan kita sesuai dengan apa yang kita
pikirkan? Apakah tindakan kita sesuai dengan ucapan kita? Apakah emosi kita
terlibat dalam cara kita mengambil keputusan? Apakah kita tahu alasan-alasan yang
mendasari perilaku anak-anak kita?
Kedua: Preventing (Mencegah munculnya perilaku beresiko atau
bermasalah). Upaya melakukan pencegahan mencakup dua hal penting: (a)
Memetakan kemungkinan-kemungkinan permasalahan. Beberapa langkah yang bisa
ditempuh agar dapat memetakan masalah adalah: (i) Melibatkan diri secara aktif
dalam kehidupan anak-anak, sehingga kita dapat mengetahui bagaimana biasanya
anak-anak kita berpikir, berperasaan dan bertindak. Kita akan menjadi lebih peka
mengenali setiap perubahan yang terjadi dalam diri anak. (ii) Menentukan batasanbatasan
yang realistis dan memperkuat batasan tersebut secara konsisten. Secara
selektif tentukan perilaku-perilaku yang paling penting atau yang kita harapkan dari
anak-anak. Pastikan bahwa kita dan anak-anak dapat ’melihat’ batasan tersebut
secara jelas. (iii) Mengajari anak-anak cara yang sehat dalam mengekspresikan
emosi. Tanyalah mereka apa yang mereka rasakan dan mengapa mereka merasa
demikian. Beri mereka contoh tentang cara-cara yang sehat dengan memperlihatkan
bagaimana kita sendiri mengekspresikan emosi ketika kita mengalami berbagai
macam emosi.
Selain memetakan kemungkinan, yang perlu dilakukan adalah (b) Mengetahui
bagaimana memecahkan permasalahan tersebut. Langkah agar dapat mengetahui
pemecahan masalah adalah sebagai berikut: (i) Ketahuilah bahwa anda tidak
Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006
*Mengakui Kesalahan*
tangani sendiri, (iii) Carilah bantuan, jika dibutuhkan.
Ketiga: Monitoring (Mengawasi interaksi anak dengan lingkungan
sosialnya). Seorang pengawas yang baik harus dapat menggabungkan kemampuan
bertanya dan memberi perhatian, dengan membuat keputusan-keputusan,
menentukan batasan-batasan dan mendorong anak-anak mengambil pilihan yang
positif ketika kita tidak ada.
Cara-cara menjadi pengawas aktif: (i) Kembangkan komunikasi dua arah
dan terbuka sejak anak usia dini dan pelihara kejujuran dalam komunikasi tersebut,
(ii) Katakan pada anak-anak tentang pikiran-pikiran dan hal-hal yang kita anggap
berharga serta alasan kita menganggap demikian.(iii) Ketahuilah apa saja yang
sedang anak-anak kita saksikan, bacakan, mainkan atau dengarkan, (iv) Kenali
orang-orang atau teman-teman yang sering bersama dengan anak-anak kita, dan (v)
Memberi arahan tanpa harus menjadi kaku.
Keempat: Mentoring (Mendukung dan menumbuhkan perilaku-perilaku
yang dikehendaki). Keterbatasan dalam pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman
pada anak-anak menjadikan mereka sangat membutuhkan mentor dalam
kehidupannya. Dan orangtua adalah mentor terbaik bagi mereka. Menjadi seorang
mentor berarti memberikan dukungan, bimbingan, persahabatan dan penghargaan
terhadap anak-anaknya. Para mentor membantu anak-anak mencapai potensinya
secara penuh dengan cara: mengembangkan kelebihan-kelebihannya, membersamai
sesuatu yang menjadi minat mereka, mengemukakan nasehat dan dukungan,
memberikan pujian, mendengarkan, dan mampu menjadi teman bagi mereka. Modal
awal dan sederhana untuk menjadi mentor yang handal adalah menyediakan waktu
bersama anak-anak, dan melakukan komunikasi satu sama lain.
Beberapa langkah yang dapat ditempuh adalah: (i) Jujur dengan kekuatan dan
kelemahan yang kita miliki, (ii) Hargai pemikiran dan pendapat anak-anak tanpa
perlu menghakiminya, (iii) Dukung minat dan kelebihan anak-anak kita, tetapi
jangan memaksanya, (iv) kenalkan anak-anak pada sesuatu yang kita sangat suka
melakukannya.
Kelima: Modeling (Menjadikan diri kita sebagai contoh positif dan
konsisten). Mungkin M yang terakhir ini terasa sangat berat bagi kebanyakan
orangtua. Memberikan keteladanan membutuhkan keteguhan dan konsistensi dalam
setiap ucapan dan tindakan di hadapan anak-anak. Anak-anak belajar banyak,
bahkan lebih banyak, dari tindakan-tindakan kita daripada ucapan-ucapan kita.
(ingat bahwa anak-anak adalah peniru yang ulung). Menjadi seorang model
memang menuntut tanggungjawab yang besar.Mulailah dan tunjukkan bahwa kita
menjadi orang pertama yang memberi contoh tentang perilaku yang kita kehendaki
dari anak-anak kita.
No comments:
Post a Comment